Minggu, 01 Mei 2011

PENYAKIT KEP (KEKURANGAN ENERGI DAN PROTEIN) PADA USIA 4 DAN 5 TAHUN

PENYAKIT KEP (KEKURANGAN ENERGI DAN PROTEIN)
PADA USIA 4 DAN 5 TAHUN




A. Abstrak
Penyakit KEP atau Protein Energy Malnutrition merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi Indonesia maupun banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (balita).Pada penyakit KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang macam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang ringan sampai berat. Pada keadaan riangan tidak banyak ditemukan kelainan dan hanya terdapat pertumbuhan yang kurang. Pada keadaan yang berat ditemuakan 2 tipe yaitu tipe kwarsiorkor dan tipe marasmus.

B.Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengenali dan menyebutkan bergagai tanda dan macam-macam klasifikasi dalam KEP.
2. Mahasiswa dapat membuat tindakan dalam mengatasi atau memecahkan masalah KEP.


C. Dasar Pembuatan Paket Pembelajaran.
Pada negara berkembang sering terjadi kekurangan energi dan protein terutama pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun (balita) 

D. Alasan Pemilihan Paket Pembelajaran
Pada orang tua dengan anak dibawah umur 5 tahun biasanya mengalami kesulitan dalam memberikan makan pada anak, sehingga anak mengalami kekurangan zat makanan seperti kekurangan energi dan protein. Oleh karena itu kita sebagai peerawat harus memberikan pemecahan masalah untuk mengatasi kekurangan energi dan protein.

E. Sasaran Audience
1. Anak-anak usia 4 dan 5 tahun.
2. Orang tua dengan usia 4 dan 5 tahun.

F. Teori
1. Prevalensi KEP
Penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi terutama pada anak-anak dibawah umur 5 tahun dan kebanyakan dinegara yang sedang berkembang. Bentuk KEP berat memberikan gambaran klinis yang khas, misalnya bentuk kwarsiorkor, marasmus atau bentuk campuran kwarsiorkor marasmik. Pada kenyataanya gejala penyakit KEP ringan ini tidak jelas hanya terlihat bahwa berat badan anak lebih rendah jika dibandingkan dengan anak sehat seumurnya. Berdasarkan hasil penelitian di 254 desa diseluruh Indonesia, Tarwotjo dkk (1978) ditemukan 30% atau 9 juta anak –anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta anak-anak balita menderita gizi buruk. 
2. Faktor-faktor Penyebab KEP
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa factor yang menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain: faktro diet, factor social, kepadatan penduduk, infeksi dan kemiskinan.
a. Peranan Diet
Diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein menyebabkan anak menderita kwarsiorkor, sedngkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizinya asansial seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasya (1971) terlihat bahwa diet yang kurang lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwarsiorkor, sedangkan pada beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet bukan merupakan factor yang penting, tetapi masih ada factor lain yang harus dicari. 
b. Peranan Faktor Sosial
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun dapat mempengruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya pantangan tersebut  didasarkan pada pada keagamaan, tetapi ada pula merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan itu berdasarkan pada keagamaan, maka akan sulit untuk diubah. Tetapi jika pantangan tersebut karena kebiasaan maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan terus-menerus hal tersebut masih bisa diatasi.  
c. Peranan kepadatan Penduduk
Dalam World Food Conference di Roma pada tahun 1974 dikemukakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutnya.
McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat pada suatu daerah yang terlalu padat penduduknya dengan keadaan hygiene yang buruk.
d. Peranan Infeksi
Infeksi akan memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
e. Peranan Kemiskinan
Dengan penghasilan yang rendah, ditambah timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan tempat tinggal akan lebih mempercepat timbulnya KEP.




3. Gejala Klinis KEP (marasmus dan kwarsiorkor)
a) Gejala klinis Kwarsiorkor
Penampilan
Penampilannya seperti anak gemuk bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun di bagian tubuh lainnya seperti pada pantat akan terlihat atrofi.
Gangguan pertumbuhan 
Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari buku Harvard persentil 50 walaupun terdapat edema, juga pada pertumbuhan tinggi badannya jika KEP sudah berlangsung lama.
Perubahan mental
Pada stadium lanjut akan terjadi apatis.
Edema
Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pda sebagian besar penderita kwarsiorkor.
Atrofi otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring terus-menerus. 
Sistem Gastro-intestinal
Pada anoreksia yang berat penderita akan menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui sonde


Perubahan rambut
Rambut mudah dicabut, terlihat kusam, kering, halus, jarang dan adanya perubahan warna
Perubahan kulit
Ditemukannya bintik-bintik merah, berpadu menjadi bercak yang kemudianmenghitam.
Pembesaran hati
Hati membesar, kadang-kadang batas hati terdapat setinggi pusar. Hati membesar mudah diraba dan terasa kenyal dengan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
Anemia
Anemia ringan sering dijumpai. Dan bilamana kwarsiorkor disertai dengan penyakit lain, terutama ankylostomiasis dapat dijumpai anemia berat.

b) Gejala klinis marasmuk
Penampilan
Wajah menyerupai orang tua, anak terlihat sangat kurus karena hilangnya sebagian lemak dan otot-ototnya.
Perubahan mental
Anak menangis, juga setelah mendapat makanan oleh sebab masih merasa lapar. Keadaran menurun (apati) terdapat pada pendeerita marasmus yang berat.

Kelainan pada kulit tubuh
Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan banyak lemak dibawah kulit dan otot-ototnya. 
Kelainan pada rambut kepala
Rambut tampak kering, tipis dan mudah rontok.
Lemak dibawah kulit
Lemak sukutan mengurang hingga turgor kulit mengurang.
Otot-otot
Otot-otot atrofi, sehingga tulang-tulang terlihat lebih jelas.
Saluran pencernaan 
Sering menderita diare atau konstipasi.
Jantung
Jarang terdapat bradikardi.
Tekanan darah
Pada umumnya tekanan dartah penderita lebih redah jika dibandingkan dengan anak sehat seumur.
Saluran nafas
Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang.
Sistem darah
Pada umunya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah.



4. Dampak KEP
Mortalitas KEP berat dimana-mana dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35% diantara mereka meninggal pada perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya. Mortalitas yang tinggi didapati pila pada penderita KEP pada negara-negara lain. Pada umunya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru, disentri, dan sebagainya. Pada penderita KEP berat juga sering ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatitis angularis.


5. Pencegahan KEP
Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu factor dasar penyebab KEP (Austin, 1981), yaitu:
a) Meningkatkan hasil produksi pertanian, supaya persediaan bahan makanan menjadi lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan rakyat.
b) Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan energi untuk anak-anak yang disapih. Makanan demikian pada umumnya tidak terdapat dalam diet tradisi, tetapi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan meningkat pada anak-anak berumur 6 bulan keatas.
c) Memperbaiki infra struktur pemasaran. Infrastuktur pemasaran yang tidak baik akan berpengaruh negatif terhadap harga maupun kualitas bahan makanan.
d) Subsidi bahan makanan.
e) Pemberian makanan suplementer.
f) Pendidikan gizi.
g) Pendidikan pada pemeliharaan kesehatan.

G. Referensi
1. Silihin pudjiadi, Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, edisi keempat,FKUI, Jakarta, 2003
2. Irianton Aritonang, Pemantaun Pertumbuhan Balita Petujuk Praktis Menilai Status Gizi & Kesehatan, Kanisius, Yogyakarta, 1996.
3. Konseling Bagi Ibu  (Manajemen Terpadu Balita Sakit), Departemen Kesehatan RI, 1999.

  

Photobucket