Senin, 26 Desember 2011

Asuhan Keperawatan Pasien Askariasis (Cacing)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ASKARIASIS


A. Pengertian
Askariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi cacing Ascaris Lumbricoides atau cacing gelang (Noer, 1996: 513). Hal senada juga terdapat dalam Kamus Kedokteran (Ramali, 1997: 26).
B. Penyebab
Penyebab dari Ascariasis adalah Ascaris Lumbricoides. Ascaris termasuk Genus Parasit usus dari kelas Nematoda: Ascaris Lumbricoides: cacing gelang (Garcia, 1996: 138). Menurut Reisberrg (1994: 339) ascaris adalah cacing gilig usus terbesar dengan cacing betina dengan ukuran panjang 20-35 cm dan jantan dewasa 15-35 cm. Rata-rata jangka hidup cacing dewasa sekitar 6 bulan.
C. Pathway Dan Masalah Keperawatan
Telur Askaris yang infektif di dalam tanah

Tertelan lewat makanan yang terkontaminasi

Masuk ke lambung dan duodenum kemudian menetas

Larva menembus dinding usus

Via sirkulasi portal ke jantung kanan

Sirkulasi pulmonal ke paru-paru Melepas antigen askaris Reaksi alergi

Tembus kapiler masuk alveoli dan bronkhi Pelepasan histamin

Secara ascenden ke trakhea, faring, epiglottis, esofagus peningkatan permiabilitas kapiler dan sensasi gatal


D. Pengkajian Fokus
Dasar data pengkajian menurut Doenges (1999) adalah :
a. Aktifitas dan Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, insomnia, tidak tidur semalam karena diare
Merasa gelisah dan ansietas.
b. Sirkulasi
Tanda : Tachicardia {respon terhadap demam, dehidrasi, proses infla masi dan nyeri.)
c. Nutrisi / Cairan
Gejala: Mual, muntah, anoreksia.
Tanda : Hipoglikemia, perut buncit (Pot Belly), dehidrasi, berat badan turun.
d. Eliminasi
Tanda : diare, penurunan haluaran urine.
e. Nyeri
Gejala : Nyeri epigastrik, nyeri daerah pusat, colik.
f. Integritas Ego
Gejala : Ansietas.
Tanda : Gelisah, ketakutan.
g. Keamanan
Tanda : Kulit kemerahan, kering, panas, suhu meningkat.

E. Fokus Intervensi
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder terhadap diare. (Carpenito, 2000: 104).
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan kriteria tidak ditemukannya tanda-tanda dehidrasi dan klien mampu memperlihatkan tanda-tanda rehidrasi dan pemeliharaan hidrasi yang adekuat.
Intervensi :
a. Monitor intake dan out put cairan.
b. Observasi tanda-tanda dehidrasi (hipertermi, turgor kulit turun, membran mukosa kering).
c. Berikan oral rehidrasi solution sedikit demi sedikit membantu hidrasi yang adekuat.
d. Observsasi tanda-tanda dehidrasi.
e. Observasi pemberian cairan intra vena.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan spasme otot polos sekunder akibat migrasi parasit di lambung.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri akan hilang atau berkurang dengan kriteria klien tidak menunjukkan kesakitan.
Intervensi :
a. Kaji tingkat dan karakteristik nyeri.
b. Beri kompres hangat di perut.
c. Ajarkan metoda distraksi selama nyeri akut.
d. Atur posisi yang nyaman yang dapat mengurangi nyeri.
e. Kolaburasi untuk pemberian analgesik.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan muntah (Carpenito, 2000: 260).
Tujuan : Nutrisi terpenuhi dengan kriteria klien menunjukkan nafsu makan meningkat, berat badan sesuai usia.
Intervensi:
a. Beri diit makanan yang adekuat, nutrisi yang bergizi.
b. Timbang BB setiap hari.
c. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat.
d. Pertahankan kebersihan mulut yang baik.
4. Hipertermi berhubungan dengan penurunan sirkulasi sekunderterhadap dehidrasi (Carpenito, 2000 ; 21)
Tujuan : Mempertahankan normotermi yang ditunjukkan dengan tidak terdapatnya tanda-tanda dan gejala hipertermia, seperti tachicardia, kulit kemerahan, suhu dan tekanan darah normal.
Intervensi :
a. Ajarkan klien dan keluarga pentingnya masukan adekuat.
b. Monitor intake dan output cairan
c. Monitor suhu dan tanda vital
d. Lakukan kompres.
5. Perubahan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi antara dermal – epidermal sekunder akibat cacing gelang (Carpenito, 2000 ; 300)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan integritas kulit teratasi dengan kriteria tidak terjadi lecet dan kemerahan.
Intervensi :
a. Beri bedak antiseptik.
b. Anjurkan untuk menjaga kebersihan diri / personal hygiene.
c. Anjurkan untuk tidak menggaruk .
d. Anjurkan untuk menggunakan pakaian yang meresap keringat..

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan, (terjemahan) Edisi 8, EGC, Jakarta.

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., Parasitologi Kedokteran (terjemahan), EGC, Jakarta.

Garcia, L.S., Bruchner, D.A., 1996, Diagnostik Parasitologi Kedokteran (terjemahan), EGC, Jakarta

Jawetz, E., Melnick, J., Adelberg, E., 1996, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 20, EGC, Jakarta

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Noer, S., 1996, buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi 3, FKUI, Jakarta.

Price, S.A., Wilson, L.M., 1995, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.

Soetjiningsih, 1999, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, 1985, Ilmu Kesehatan Anak, EGC, Jakarta.

Wong, D.L., Eaton, M.H., 2001, Pediatric Nursing, Edisi 6, Mosby, USA

Asuhan Keperawatan Pasien Batu Ginjal (Urolithiasis)

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN BATU GINJAL


Pengertian
Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi. Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang paling sering terjadi (Purnomo, 2000, hal. 68-69).

Insidens dan Etiologi
Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran kemih.
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik)
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik, meliputi:
1. Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
2. Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita.

Faktor ekstrinsik, meliputi:
1. Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu)
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih.
5. Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktivitas fisik (sedentary life).

Teori Terbentuknya Batu Saluran Kemih
Beberapa teori terbentuknya batu saluran kemih adalah:
1. Teori nukleasi: Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu atau sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan kelewat jenuh akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti bantu dapat berupa kristal atau benda asing saluran kemih.
2. Teori matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin dan mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya kristal-kristal batu.
3. Penghambat kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal yakni magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat ini berkurang akan memudahkan terbentuknya batu dalam saluran kemih.

Komposisi Batu
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.
Batu Kalsium
Batu kalsium (kalsium oksalat dan atau kalsium fosfat) paling banyak ditemukan yaitu sekitar 75-80% dari seluh batu saluran kemih. Faktor tejadinya batu kalsium adalah:
1. Hiperkasiuria: Kadar kasium urine lebih dari 250-300 mg/24 jam, dapat terjadi karena peningkatan absorbsi kalsium pada usus (hiperkalsiuria absorbtif), gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hiperkalsiuria renal) dan adanya peningkatan resorpsi tulang (hiperkalsiuria resoptif) seperti pada hiperparatiridisme primer atau tumor paratiroid.
2. Hiperoksaluria: Ekskresi oksalat urien melebihi 45 gram/24 jam, banyak dijumpai pada pasien pasca pembedahan usus dan kadar konsumsi makanan kaya oksalat seperti the, kopi instan, soft drink, kakao, arbei, jeruk sitrun dan sayuran hijau terutama bayam.
3. Hiperurikosuria: Kadar asam urat urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat dalam urine dapat bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium oksalat. Asam urat dalam urine dapat bersumber dari konsumsi makanan kaya purin atau berasal dari metabolisme endogen.
4. Hipositraturia: Dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Keadaan hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom malabsorbsi atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama.
5. Hipomagnesiuria: Seperti halnya dengan sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium karena dalam urine magnesium akan bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan dengan kalsium ddengan oksalat.

Batu Struvit
Batu struvit disebut juga batu sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini dipicu oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan pemecah urea (uera splitter seperti: Proteus spp., Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus) yang dapat menghasilkan enzim urease dan mengubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) dan karbonat apatit.

Batu Urat
Batu asam urat meliputi 5-10% dari seluruh batu saluran kemih, banyak dialami oleh penderita gout, penyakit mieloproliferatif, pasein dengan obat sitostatika dan urikosurik (sulfinpirazone, thiazide dan salisilat). Kegemukan, alkoholik dan diet tinggi protein mempunyai peluang besar untuk mengalami penyakit ini. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah: urine terlalu asam (pH

Patofisiologi
Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan infeksi saluran kemih. Manifestasi obstruksi pada saluran kemih bagian bawah adalah retensi urine atau keluhan miksi yang lain sedangkan pada batu saluran kemih bagian atas dapat menyebabkan hidroureter atau hidrinefrosis. Batu yang dibiarkan di dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi, abses ginjal, pionefrosis, urosepsis dan kerusakan ginjal permanen (gagal ginjal)


Gambaran Klinik dan Diagnosis

Keluhan yang disampaikan pasien tergantung pada letak batu, besar batu dan penyulit yang telah terjadi. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketok di daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, ditemukan tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine dan jika disertai infeksi didaptkan demam/menggigil.
Pemeriksaan sedimen urine menunjukan adanya lekosit, hematuria dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai penyebab timbulnya batu salran kemih (kadar kalsium, oksalat, fosfat maupun urat dalam darah dan urine).
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan melihat kemungkinan adanya batu radio-opak dan paling sering dijumpai di atara jenis batu lain. Batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).
Pemeriksaan pieolografi intra vena (PIV) bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi opak atau batu non opak yang tidak tampak pada foto polos abdomen.
Ultrasongrafi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV seperti pada keadaan alergi zat kontras, faal ginjal menurun dan pada pregnansi. Pemeriksaan ini dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli (tampak sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis atau pengkerutan ginjal.

Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih harus segera dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan pada batu saluran kemih adalah telah terjadinya obstruksi, infeksi atau indikasi sosial. Batu dapat dikeluarkan melalui prosedur medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL, melalui tindakan endo-urologi, bedah laparoskopi atau pembedahan terbuka.

Pencegahan
Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalahupaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7%/tahun atau kambuh >50% dalam 10 tahun.
Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan adalah:
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 2-3 liter per hari
2. Diet rendah zat/komponen pembentuk batu
3. Aktivitas harian yang cukup
4. Medikamentosa
Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah:
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat
3. Rendah garam karena natiuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria
4. Rendah purin
5. Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II

FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:
Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
1. Aktivitas/istirahat:
Gejala:
- Riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih banyak duduk
- Riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi
- Keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya (cedera serebrovaskuler, tirah baring lama)

2. Sirkulasi
Tanda:
- Peningkatan TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal)
- Kulit hangat dan kemerahan atau pucat

3. Eliminasi
Gejala:
- Riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya
- Penrunan volume urine
- Rasa terbakar, dorongan berkemih
- Diare
Tanda:
- Oliguria, hematuria, piouria
- Perubahan pola berkemih

4. Makanan dan cairan:
Gejala:
- Mual/muntah, nyeri tekan abdomen
- Riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat
- Hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup
Tanda:
- Distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus
- Muntah

5. Nyeri dan kenyamanan:
Gejala:
- Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal menimbulkan nyeri dangkal konstan)
Tanda:
- Perilaku berhati-hati, perilaku distraksi
- Nyeri tekan pada area ginjal yang sakit

6. Keamanan:
Gejala:
- Penggunaan alkohol
- Demam/menggigil

7. Penyuluhan/pembelajaran:
Gejala:
- Riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis
- Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme
- Penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.

1. Tes Diagnostik
Lihat konsep medis.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri (akut) b/d peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.
2. Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.
3. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) b/d mual/muntah (iritasi saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN

Nyeri (akut) b/d peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Catat lokasi, lamanya/intensitas nyeri (skala 1-10) dan penyebarannya. Perhatiakn tanda non verbal seperti: peningkatan TD dan DN, gelisah, meringis, merintih, menggelepar.



2. Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan kepada staf perawatan setiap perubahan karakteristik nyeri yang terjadi.


3. Lakukan tindakan yang mendukung kenyamanan (seperti masase ringan/kompres hangat pada punggung, lingkungan yang tenang)

4. Bantu/dorong pernapasan dalam, bimbingan imajinasi dan aktivitas terapeutik.

5. Batu/dorong peningkatan aktivitas (ambulasi aktif) sesuai indikasi disertai asupan cairan sedikitnya 3-4 liter perhari dalam batas toleransi jantung.

6. Perhatikan peningkatan/menetapnya keluhan nyeri abdomen.



7. Kolaborasi pemberian obat sesuai program terapi:
- Analgetik



- Antispasmodik


- Kortikosteroid



8. Pertahankan patensi kateter urine bila diperlukan. Membantu evaluasi tempat obstruksi dan kemajuan gerakan batu. Nyeri panggul sering menyebar ke punggung, lipat paha, genitalia sehubungan dengan proksimitas pleksus saraf dan pembuluh darah yang menyuplai area lain. Nyeri tiba-tiba dan hebat dapat menimbulkan gelisah, takut/cemas.
Melaporkan nyeri secara dini memberikan kesempatan pemberian analgesi pada waktu yang tepat dan membantu meningkatkan kemampuan koping klien dalam menurunkan ansietas.

Meningkatkan relaksasi dan menurunkan ketegangan otot.



Mengalihkan perhatian dan membantu relaksasi otot.


Aktivitas fisik dan hidrasi yang adekuat meningkatkan lewatnya batu, mencegah stasis urine dan mencegah pembentukan batu selanjutnya.

Obstruksi lengkap ureter dapat menyebabkan perforasi dan ekstravasasiurine ke dalam area perrenal, hal ini merupakan kedaruratan bedah akut.


Analgetik (gol. narkotik) biasanya diberikan selama episode akut untuk menurunkan kolik ureter dan meningkatkan relaksasi otot/mental.
Menurunkan refleks spasme, dapat menurunkan kolik dan nyeri.

Mungkin digunakan untuk menurunkan edema jaringan untuk membantu gerakan batu.

Mencegah stasis/retensi urine, menurunkan risiko peningkatan tekanan ginjal dan infeksi.

Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Awasi asupan dan haluaran, karakteristik urine, catat adanya keluaran batu.

2. Tentukan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi yang terjadi.

3. Dorong peningkatan asupan cairan.

4. Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran.

5. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin)
6. Berikan obat sesuai indikasi:
- Asetazolamid (Diamox), Alupurinol (Ziloprim)

- Hidroklorotiazid (Esidrix, Hidroiuril), Klortalidon (Higroton)

- Amonium klorida, kalium atau natrium fosfat (Sal-Hepatika)

- Agen antigout mis: Alupurinol (Ziloprim)

- Antibiotika

- Natrium bikarbonat

- Asam askorbat

7. Pertahankan patensi kateter tak menetap (uereteral, uretral atau nefrostomi).
8. Irigasi dengan larutan asam atau alkali sesuai indikasi.

9. Siapkan klien dan bantu prosedur endoskopi. Memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. Penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe batu dan mempengaruhi pilihan terapi
Batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas saraf sehingga menimbulkan sensasi kebutuhan berkemih segera. Biasanya frekuensi dan urgensi meningkat bila batu mendekati pertemuan uretrovesikal.
Peningkatan hidrasi dapat membilas bakteri, darah, debris dan membantu lewatnya batu.
Akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada SSP.
Peninggian BUN, kreatinin dan elektrolit menjukkan disfungsi ginjal

Meningkatkan pH urine (alkalinitas) untuk menurnkan pembentukan batu asam.

Mencegah stasis urine ddan menurunkan pembentukan batu kalsium.

Menurunkan pembentukan batu fosfat


Menurnkan produksi asam urat.


Mungkin diperlukan bila ada ISK

Mengganti kehilangan yang tidak dapat teratasi selama pembuangan bikarbonat dan atau alkalinisasi urine, dapat mencegah pemebntukan batu.

Mengasamkan urine untuk mencegah berulangnay pembentukan batu alkalin.
Mungkin diperlukan untuk membantu kelancaran aliran urine.

Mengubah pH urien dapat membantu pelarutan batu dan mencegah pembentukan batu selanjutnya.
Berbagai prosedur endo-urologi dapat dilakukan untuk mengeluarkan batu.
Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) b/d mual/muntah (iritasi saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Awasi asupan dan haluaran


2. Catat insiden dan karakteristik muntah, diare.



3. Tingkatkan asupan cairan 3-4 liter/hari.


4. Awasi tanda vital.


5. Timbang berat badan setiap hari.


6. Kolaborasi pemeriksaan HB/Ht dan elektrolit.

7. Berikan cairan infus sesuai program terapi.

8. Kolaborasi pemberian diet sesuai keadaan klien.



9. Berikan obat sesuai program terapi (antiemetik misalnya Proklorperasin/ Campazin).
Mengevaluasi adanya stasis urine/kerusakan ginjal.

Mual/muntah dan diare secara umum berhubungan dengan kolik ginjal karena saraf ganglion seliaka menghubungkan kedua ginjal dengan lambung.

Mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis, juga dimaksudkan sebagai upaya membilas batu keluar.

Indikator hiddrasi/volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi.

Peningkatan BB yang cepat mungkin berhubungan dengan retensi.

Mengkaji hidrasi dan efektiviatas intervensi.

Mempertahankan volume sirkulasi (bila asupan per oral tidak cukup)

Makanan mudah cerna menurunkan aktivitas saluran cerna, mengurangi iritasi dan membantu mempertahankan cairan dan keseimbangan nutrisi.

Antiemetik mungkin diperlukan untuk menurunkan mual/muntah.


Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Tekankan pentingnya memperta-hankan asupan hidrasi 3-4 liter/hari.


2. Kaji ulang program diet sesuai indikasi.
- Diet rendah purin
- Diet rendah kalsium
- Diet rendah oksalat
- Diet rendah kalsium/fosfat


3. Diskusikan program obat-obatan, hindari obat yang dijual bebas.



4. Jelaskan tentang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik (nyeri berulang, hematuria, oliguria)


5. Tunjukkan perawatan yang tepat terhadap luka insisi dan kateter bila ada.
Pembilasan sistem ginjal menurunkan kesemapatan stasis ginjal dan pembentukan batu.

Jenis diet yang diberikan disesuaikan dengan tipe batu yang ditemukan.






Obat-obatan yang diberikan bertujuan untuk mengoreksi asiditas atau alkalinitas urine tergantung penyebab dasar pembentukan batu.

Pengenalan dini tanda/gejala berulangnya pembentukan batu diperlukan untuk memperoleh intervensi yang cepat sebelum timbul komplikasi serius.

Meningkatakan kemampuan rawat diri dan kemandirian.


DAFTAR PUSTAKA

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta

Purnomo, BB ( 2000), Dasar-dasar Urologi, Sagung Seto, Jakarta

Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, BP FKUI, Jakarta.

Asuhan Keperawatan Pasien Benigna Prostat Hipertrofi (BPH)

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI


A. Pengertian
Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doengoes, 2000: 67)
Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran adenomateus dari kelenjar prostat (Barbara C Long, 1996)
Benigna prostat hipertrofi adalah pembentukan jaringan prostat yang berlebihan karena jumlah sel bertambah, tetapi tidak ganas (Depkes 1999, hal 108)
Benigna prostat hipertrofi adalah hiperflasi peri uretral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Syamsuhidayat, Jong. 1997: 1058)
B. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon enstrogen (Mansjoer, 2000 hal 329)
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperflasia prostat tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menebabkan menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi kelenjar prostat menjadi berlebihan (poenomo, 2000, hal 74-75)
Penyebab BPH tidak diketahui, tapi tampaknya terdapat kaitan dengan perubahan derajat hormon yang dialami dalam proses lansia. (Barbara C Long, 1999: 32)
C. PATOFISIOLOGI
BPH sering terjadi pada pria yang berusia 50 tahun lebih, tetpai perubahan mikroskopis pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Penyakit ini dirasakan tanpa ada gejala. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab BPH ada keterkaitan dengan adanya hormon, ada juga yang mengatakan berkaitan dengan tumor, penyumbatan arteri, radang, gangguan metabolik/ gangguan gizi. Hormonal yang diduga dapat menyebabkan BPH adalah karena tidak adanya keseimbangan antara produksi estrogen dan testosteron. Pada produksi testosteron menurun dan estrogen meningkat. Penurunan hormon testosteron dipengaruhi oleh diet yang dikonsumsi oleh seseorang. Mempengaruhi RNA dalam inti sel sehingga terjadi proliferasi sel prostat yang mengakibatkan hipertrofi kelenjar prostat maka terjadi obstruksi pada saluran kemih yang bermuara di kandung kemih. Untuk mengatasi hal tersebut maka tubuh mengadakan oramegantisme yaitu kompensasi dan dekompensasi otot-otot destruktor. Kompensasi otot-otot mengakibatkan spasme otot spincter kompensasi otot-otot destruktor juga dapat menyebabkan penebalan pada dinding vesika urinaria dalam waktu yang lama dan mudah menimbulkan infeksi.
Dekompensasi otot destruktor menyebabkan retensi urine sehingga tekanan vesika urinaria meningkat dan aliran urine yang seharusnya mengalir ke vesika urinaria mengalami selek ke ginjal. Di ginjal yang refluks kembali menyebabkan dilatasi ureter dan batu ginjal, hal ini dapat menyebabkan pyclonefritis. Apabila telah terjadi retensi urine dan hidronefritis maka dibutuhkan tindakan pembedahan insisi. Pada umumnya penderita BPH akan menderita defisit cairan akibat irigasi yang digunakan alat invasif sehingga pemenuhan kebutuhan ADC bagi penderita juga dirasakan adanya penegangan yang menimbulkan nyeri luka post operasi pembedahan dapat terjadi infeksi dan peradangan yang menimbulkan disfungsi seksual apabilla tidak dilakukan perawatan dengan menggunakan teknik septik dan aseptik.




D. PATHWAYS KEPERAWATAN
Perubahan Usia

Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron

Testosteron menurun

Estrogen meningkat

Perubahan patologik anatomik

BPH

Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat

Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU


Kompensasi otot detruktor Dekompensasi otot detruktor

Spasme otot sfinkter Penebalan dinding VU Retensi Urine

Nyeri suprapublik Kontraksi otot Aliran urine ke ginjal
(refluks VU)
Gg. Rasa nyaman nyeri Kesulitan berkemih
Tekanan ureter ke ginjal
Resiko infeksi
Kerusakan fungsi ginjal
Insisi prostat


Perdarahan Perubahan Eliminasi Resiko Resiko
Berkemih Infeksi disfungsi seksual


Keseimbangan Peregangan
Cairan terganggu
Spasme otot VU

Resiko kekurangan Nyeri(akut)
Volume cairan

(Mansjoer Arief, 2000, Long BC, 1996. Doengoes, 2000)


E. Manifestasi Klinikl
Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai lower urinary Tract Symtoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan gejala obstruktif.
1. Gejala iritatif
Yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala Obstruktif
Yaitu pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi menunggu lama (hesistensi), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency) dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overlow.
Tanda dan gejala pada pasien yang telah lanjut penyakitnya yaitu gagal ginjal, peningkatan tekanandarah denyut nadi, respirasi. Tanda dan gejala dapat dilihat dari stadiumnya
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis
b. Stadium II
Ada retensi urine tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisi 50-150 cc
Ada rasa tidak enak pada waktu BAK (disuria)
Nokturia
c. Stadium III
Urine selalu tersisa 150 cc atau lebih
d. Stadium IV
Retensi Urine total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secar periodik. (Depkes, 1996, hal 109)
Untuk mengukur besarnya BPH dapat dipakai berbagai pengukuran, yaitu:
a. Rectal Grading
Dengan rectal toucher diperkirakan seberapa prostat menonjol ke dalam lumen dari rectum. Rectal toucher sebaiknya dilakukan dengan buli-buli kosong karena bila penuh dapat membuat kesalahan. Gradasi ini sebagai berikut:
0-1 cm . . . . . . . grade 0
1-2 cm . . . . . . . grade 1
2-3 cm . . . . . . . grade 2
3-4 cm . . . . . . . grade 3
>4 cm . . . . . . . grade 4
b. Clinical Granding
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya usia Urine
Sisa urine 0 cc . . . . . . . . . . . . . . . normal
Sisa urine 0-50 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 1
Sisa urine 50-150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 2
Sisa urine >150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 3
Sama sekali tidak bisa kencing . . . . . . . grade 4
F. Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena produksi terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi jika infeksi karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria serta dapat juga menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi pyelonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya lekosit, bakteri dan infeksi
Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status metabolik
Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan
Darah lengkap
Leukosit
Blooding time
Liver fungsi
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen
Prelograf intravena
USG
Sistoskopi
H. Penatalaksanaan
a. Observasi
b. Terapi medika mentosa (penghambat Adrenergik λ, penghambat enzim 5-λ-reduktase, fisioterapi)
c. Terapi bedah dan terapi infasiv
(Mansjoer Arif, 2000: 333)
I. Fokus Keperawatan
1. Pengkajian
a. Sirkulasi
Tanda: peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala: penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan, keraguan-raguan pada berkemih awal.
Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan
Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap
Dorongan dan frekuensi berkemih
Nokturia, disuria, hematuria
ISK berulang, riwayat batu (status urinaria)
Konstipasi
Tanda: massa: Padat di bawah abdomen (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih.
c. Makanan/ cairan
Gejala: Anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
d. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri suprapubis, panggul, atau punggung, tajam, kuat (pada prostatisis akut)
e. Keamanan
Gejala: demam
f. Seksualitas,
Gejala: masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksualitas. Takut incontinensia/ menetap selama hubungan ejakulasi.
Tanda: Pembesaran, nyeri tekan prostat
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
Penggunaan antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinari atau agen biotik, obat yang dijual bebas untuk flu/ alergi obat mengandung simpatometrik.
Pertimbangan: DRG menunjukkan merata selama dirawat di RS 22 hari.
Rencana pemulangan: memerlukan bantuan dengan management terapi. Contoh: kateter.
2. Fokus Intervensi
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kriteria hasil:
Berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
Menunjukkan risedu pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan aliran
Intervensi:
Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional: meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada kandung kemih
Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
Rasional: Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
Awasi dan catat waktu serta jumlah tiap berkemih
Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
Palpasi atau perkusi area suprapubic
Rasional: Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubic
Awasi TTV dengan ketat, observasi hipertensi, edema perifer, timbang tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat
Rasional: kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total
Beri/dorong kateter lain dan perawtan perineal
Rasional: Menurunkan resiko infeksi
Dorong masukan cairan sampai 300 ml sehari dalam toleransi jantung bila diindikasikan
Rasional: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan kandung kemih dan pertumbuhan bakteri
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.
Kriteria hasil:
Pasien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol
Pasien tampak rileks
Pasien mampu untuk tidur atau istirahat dengan tenang
Intervensi
Kaji nyeri, pertahatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya.
Rasional: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi
Plester selang drainase pada paha dan kateter abdomen
Rasional: Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis skrotal
Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional: Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki palo berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
Beri tindakan kenyamanan, misal: membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, latihan nafas dalam
Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat meningkatkan kemampuan koping
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Kriteria hasil:
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab
Intervensi:
Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam
Rasional: Deuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal
Dorong peningkatan pemasukan oral berdasrkan kebutuhan individu
Rasional: Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi atau hipovolemia
Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral
Rasional: Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik, sistemik
Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi
Rasional: Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.
Doengoes E Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawtan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.
Syamsuhidayat, R. 1997. Keperawtan medikal Bedah. EGC: Jakarta.

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Anemia

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS ANEMIA


I. PENGERTIAN
“Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dan atau jumlah erytrosit lebih rendah dari normal” (Jumiarni, 1992 : 112).
“Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah” (Price, A, Sylvia, 1994 : 232)
“anemia adalah suatu keadaan sebagai penurunan volume erytrosit atau kadar Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat” (Nelson, 2000 : 1680)
anemia adalah suatu keadaan yang menggambarkan Hb/ erytrosit dalam darah kurang dari normal. Dikatakan anemia grafis apabila Hb  5 gr%. Tingkatan anemia pada anak dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Anemia ringan : kadar Hb antara 8 – 10 gr%
2. Anemia Sedang : kadar Hb antara 5 – 8 gr%
3. Anemia Berat : kadar Hb adalah  5 gr%
Sedangkan kadar Hb normal :
Laki-laki : 15 gr% - 18 gr%
Perempuan : 12 gr% - 16 gr%
Bayi baru lahir : 18 gr%
Bayi umur 2 tahun : 11 gr%

II. ETIOLOGI
Tergantung dari jenis anemianya antara lain :
1. Anemia Micrositik Hipokrom
a. Anemia Defisiensi Besi
Disebabkan : - asupan besi dalam makalan kurang
- perdarahan kronik
- gangguan absorbsi sedangkan kebutuhan meningkat
- pada anak-anak karena besi dalam susu dan makanan berkurang

b. Anemia Penyakit Kronik
Disebabkan : - penyakit-penyakit infeksi seperti infeksi ginjal, infeksi paru dan lain-lain
- Infeksi kronik seperti artrisis keumatia dan neoplasma
2. Anemia Macrositik (Anemia Megaloblastik)
a. Anemia Defisiensi Vitamin B12
Disebabkan oleh faktor :
Intrinsik
Karena gangguan absorbsi vitamin yang merupakan penyakit herediter autoimun
Ekstrinsik
Karena kekurangan masukan vitamin B12
b. Anemia Defisiensi Asam Folat
Disebabkan : - asupan asam folat dalam makanan kurang
- masa absorbsi asam folat
- kebutuhan asam folat meningkat
- eksresi asam folat lebih dalam urine
- obat-obatan anti konvulsan dan sitostatik tertentu
3. Anemia karena Perdarahan
Disebabkan : - perdarahan akibat persalinan
- perdarahan menahun seperti pada penyakit cacingan
- dan sebagainya
4. Anemia Hemolitik
Disebabkan 2 faktor :
Faktor Intrinsik
a. Kelainan membran seperti sterositosis heriditer.
b. Kelainan glikolisis seperti defisiensi piruvat kinase.
c. Kelainan enzim seperti defisiensi GG PD.
d. Hemoglobinopati seperti anemia sel sabit.
Faktor Ekstrinsik
a. Gangguan sistem imun
b. Mikroargiopati seperti NID
c. Infeksi seperti akibat plasmodium
d. Hipersplenisme
e. Luka bakar
5. Anemia Aplastik
Disebabkan 2 faktor :
Faktor Kongenital
Karena kelainan bawaan seperti sindrom fanconi disertai microsefali strabismus, anomali jari.
Faktor yang didapat :
a. Bahan kimia, benzene, insektisida, senyawa Pb.
b. Obat-obatan : kloramfenikal, mesantoin, piri benzamin.
c. Radiasi
d. Faktor individu : alergi terhadap obat
e. Infeksi, keganasan, gangguan endokrin

III. PATOFISIOLOGI
1. Anemia Defisiensi Besi
Jika besi yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh kurang dapat menyebabkan pembuluh sel darah merah menurun melalui 3 tingkatan :
a. Defisiensi besi merupakan permukaan kekurangan Fe dimana cadangan besi dalam tubuh berkurang atau +’ ada, tetapi besi dalam plasma darah normal, Hb dan Ht normal.
b. Defisiensi besi tanpa anemia yaitu cadangan besi dan besi diit plasma kurang tapi Hb normal.
c. Anemia defisiensi besi bila cadangan besi dalam plasma dan hemoglobin berkurang dari normal.
2. Anemia Penyakit Kronis
Penyakit kronis menyebabkan RES hiperaktif, dengan adanya RES yang diperaktif menyebabkan destruksi erytrosit sehingga sel darah merah akan menurun dan menjadi anemia.
3. Anemia Defisiensi Vitamin B12 dan Asam Folat
Vitamin B12 dan asam folat merupakan bahan esensial untuk sintesis RNA dan DNA yang penting untuk metabolisme inti sel dan pematangan sel darah merah karena asupan vitamin B12 dan asam folat berkurang maka proses pematangan sel darah merah terganggu dan jumlah erytrosit menurun.
4. Anemia karena Perdarahan
Kehilangan darah mendadak akan menyebabkan sel darah merah berkurang, maka dapat terjadi reflek cardiovaskuler yang fisiologis berupa konstruksi arterial, pengurangan aliran darah ke organ vital kehilangan darah mendadak  30% menimbulkan hipovolumia dan hipoksia.
5. Anemia Hemolitik
Kelainan membran (faktor intrinsik), gangguan imun (faktor ekstrinsik) menyebabkan penghancuran sel darah merah dalam pembuluh darah, sehingga umur erytrosit menjadi pendek, bila sum-sum tulang tidak mampu mengatasi karena usia sel darah merah yang pendek. Dengan usia sel darah merah yang pendek menyebabkan pengurangan jumlah sel darah merah.
6. Anemia Aplastik
Faktor kongenital dan faktor yang didapat menyebabkan kerusakan pada sum-sum tulang belakang sehingga pembentukan sel hemopoetik (eritropoetik, aranulopoetik, tromboroetik) yang merangsang pematangan sel darah merah terhenti, sehingga sel darah tepi berkurang sehingga menyebabkan sel darah merah mengalami penurunan.
Anemia dapat menyebabkan oksigen dalam jaringan berkurang karena sel darah merah yang berfungsi mengantar oksigen dalam jaringan berkurang, sehingga klien terlihat pucat, cepat lelah, apabila kehilangan darah  30% dengan mendadak menyebabkan hipovolemia dan hapoksemia.
Mekanisme kompensasi tubuh bekerja melalui 5 cara :
- Peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena dengan ini dapat menambah pengiriman O2 ke jaringan oleh sel darah merah.
- Meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin.
- Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan.
- Redistribusi aliran darah ke organ vital.

IV. MANIFESTASI KLINIK
Secara umum tanda dari anemia adalah :
- cepat lelah - palpitasi
- takikardi - takipnea pada latihan fisik

1. Anemia Defisiensi Besi
Manifestasi klinis :
- cepat lelah
- takikardi
- palpitasi
- takipnea pada latihan fisik
- perubahan kulit dan mukosa yang progresif seperti lidah halus
2. Anemia Penyakit Kronik
Kebanyakan tidak menunjukkan gejala.
3. Defisiensi ¬Vitamin B12 dan Asam Folat
- anorexia
- diare
- dispepsia
- lidah licin
- pucat
- gangguan neurologis dimulai dengan parestesia kemudian gangguan keseimbangan.
Pada kasus berat terjadi perubahan fungsi cerebral, dimensia, dan perubahan neuro psikiatrik lain.
4. Anemia karena Perdarahan
Kehilangan darah sebanyak 12 – 15% manifestasi klinis :
- pucat
- transpirasi
- takikardi
- tekanan darah normal atau turun
Kehilangan darah 15 – 20%
- tekanan darah menurun
- renjatan yang reversibel
Kehilangan darah  20%
Menimbulkan renjatan irreversibel dan kematian.
5. Anemia Hemolitik
Gejala bervariasi dari ringan sampai berat.
Klien mengeluh fatigue bersamaan dengan angina atau gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan fisik didapat ikterus dan splenomegali.
6. Anemia Aplastik
- pucat
- lemah, demam
- purpura dan perdarahan

V. DIAGNOSIS
Anemia bukan merupakan diagnosa suatu penyakit anemia sel merupakan salah satu gejala dari penyakit. oleh karenanya apabila akan menentukan bahwa seseorang menderita anemia, maka menjadi kewajiban kita untuk menentukan etiologinya. Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi atau berdasarkan klasifikasi kinetik.
Pada klasifikasi morfologi dikenal 3 golongan anemia :
- Anemia Normokrom
- Anemia Makrositer
- Anemia Nomokrom Makrositer

Anemia normokrom normositer ditemukan pada anemia hemolisis autoimun, anemia penyakit kronik, anemia penyakit ginjal, sirosis hati dan lain-lain.
Anemia Makrositer ditemukan pada anemia perniosa, defisiensi asam folat syndroma malaabsorbsi dan lain-lain.
Anemia hipokrom makrositer pada anemia defisiensi besi, hemoglobino pati (Hialasemia)
Sedangkan diagnosa pasti anemia defisiensi besi :
1) Apabila ditemukan riwayat perdarahan kronis atau apabila kita dapat membuktikan suatu sumber perdarahan.
2) Secara labolatorik ditemukan adanya anemi yang hipokrom mikrositer.
3) Kadar Fe serum darah dengan TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang meninggi.
4) Tidak terdapatnya Fe dalam sum-sum tulang.
5) Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.


VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Anemia Makrositik Hipokram
a. Anemia Defisiensi Besi
Gambaran laboratorium :
Morfologi sel darah merah : hipocrom dan makrositer
Besi dalam serum : menurun
IBC : meningkat
Hemosiderin sum-sum tulang : berkurang
Feritin dalam serum : meningkat
Hb : turun
b. Anemia Penyakit kronis
Hb turun
Ht turun 25 – 30%
Feritin serum : meningkat / normal
Leucosit : menurun
2. Anemia Macrositik
a. Defisiensi Vitamin B12
Hb turun
Sel darah merah macrositik
Mev  100 mol/ L
Neutrofil hipersegmentasi
Vitamin B12 menurun : kurang dari 100 pg/ml.
b. Defisiensi Asam Folat
Hb turun
Asam folat serum rendah  3 mg/ ml
3. Anemia karena perdarahan
Hb turun
Test benzindin tinja : positif
Besi serum : turun
IBC : meningkat
4. Anemia Hemolitik
Ht : turun
Retikulositosis
Bilirubin indirek : meningkat
Bilirubin total : meningkat
Erytropoesis : hiperaktif
5. Anemia Aplastik
Adanya pansitopenia
Retikulosit menurun  1 %
Neutrofil  500 ml
Trombosit  20.000/ ml
Kepadatan selular sum-sum tulang  20%.

Photobucket